Sangat jarang bahkan bisa dihitung dengan jari siapa yang berada dibalik proses pembuatan lonceng gereja. Dentang yang menggema ditelinga seakan mampu menyiratkan keberadaan sebuah gereja dalam membangkitkan nuansa spiritual. Tapi siapa sebenarnya yang mampu menghiasi gereja dengan suara dentangnya yang indah? Dan siapa sangka benda yang bernama lonceng dan menghiasi sekian puluh gereja di Indonesia dan manca negara itu karya anak negeri ini?
TRIMANTO alias Tri Wiguna yang bergelar empu, belum lama ini kepada PRABA bertuturpanjang lebar tentang karya-karya seninya termasuk lonceng gereja yang kini menghiasi di berbagai gereja di Indonesia maupun di beberapa negara di Eropa.
Dengan ingatan yang masih tajam, Trimanto yang saat ini berusia 79 tahun dan menjadi langganan beberapa pastor atau romo ini menjelaskan bahwa sejak semula ia tidak berniat membuat lonceng. “Saya sebenarnya tidak punya maksud membuat lonceng, akan tetapi ada yang memesannya. Jadi ceritanya ketika Radius Prawiro, seorang merited di jaman kepemimpinan Presiden Soeharto menginginkan sebuah lonceng, dan memesan kepada saya. Semula saya ragu-ragu, akan tetapi karena saya didesak untuk membuatkan, akhirnya saya coba dengan jalan menempa, bukan mencetak. Setelah jadi, ternyata bunyinya kemprong alias kurang memuaskan,” ujarnya mengawali perbincangan.
Selang beberapa waktu kemudian atau sekitar tahun 1978 ia berkenalan dengan Pastor Wagner. Biarawan asal Jerman itu datang ke bengkel kerja Trimanto. Meskipun Trimanto sudah menjelaskan bila ia tidak bisa membuat lonceng dengan sempurna, akan tetapi ia terus didesak untuk mencobanya.
“Sayapun mengiyakan, akan tetapi saya bermaksud membuatnya dari kuningan. Karena saya tidak yakin bila dari perunggu hasilnya akan baik. Selain harganya mahal, memakan waktu dan tenaga. Tetapi Pastor Wagner tidak mau kalau dari kuningan karena menurutnya tidak bagus. Sayapun bertanya, kalau tidak dari kuningan lalu dari apa? Pastor Wagner mengatakan kalau ia pulang ke Jerman akan membawakan literaturnya,” ujar Trimanto mengisahkan.
Betul juga, tiga bulan kemudian Pastor Wagner datang dan membawakan literatur yang dimaksud. Ternyata apa yang ada di literatur tersebut tak lain brons, yakni campuran antara CU (cuprum) dan SN (stanum) alias perunggu. “Jadi saya bisa membuat lonceng dengan sempurna setelah mendapat petunjuk dari Pastor Wagner tentang bagaiinana komposisi dan cara membuat yang baik dan benar meskipun dari perunggu,” jelas Trimanto yang pernah mendapat penghargaan dari Unesco tahun 2002
Dijelaskan pula, kendala dari kualitas lonceng yakni masalah bunyi. Bunyinya bagus asal brons tua yakni hampir mendekati perbandingan 3:10 dimana 3 untuk SN dan 10 untuk CU, akan tetapi beresiko mudah pecah. Untuk mengatasinya dibuat agak muda dengan perbandingan 2,5 : 10, dipukul keras pun tidak apa-apa. Hanya saja komposisi tersebut menghasilkan suara tidak sempurna alias kemprong atau tidak menggema.
“Jadi orang tinggal pilih, yang agak kurang menggema supaya awet atau pilih menggema tetapi mudah pecah. Saya sampaikan begini agar orang bisa tahu. Nah, untuk yang menggema tadi, orang yang membunyikannya harus dididik betul. Artinya, tidak asal membunyikan, tetapi harus dengan hati dan perasaan. Hatinya harus mengikuti suara karena nafsu orang lain-lain. Jadi kalau yang membunyikan itu dididik untuk menyatu dengan lonceng, meskipun loncengnya dengan campuran tua pasti tidak akan pecah. Saya pernah ngomong-ngomong dengan seorang pastor dari luar negeri, dan dia juga mengatakan demikian,” papar ayah 8 anak dari perkawinannya dengan Siti Komariah.
Ketika ditanya bagaimana mengatasi bila lonceng retak? Kakek 18 cucu ini dengan santainya berujar bila Gerejanya mampu mendanai bisa pesan yang lebih bagus. Dengan kata lain, lonceng yang retak atau pecah tersebut kelak bisa diolah kembali menjadi lonceng yang baru meski memakan waktu yang tidak sebentar. Dan satu hal yang perlu ditegaskan yakni timbangan lonceng yang diolah kembali akan susut sekitar 20%. “Jadi bila sebuah lonceng yang retak beratnya sekitar 50 kg kemudian dicor lagi, maka hanya akan menghasilkan lonceng dengan berat 40 kg. Maka sebaiknya ditukar tambah dengan yang sudah ada. Selain menghemat waktu, kualitas lonceng juga berbeda. Jelasnya lebih bagus dan berkualitas meski harus ditebus dengan harga yang telah disesuaikan.
Dikatakan Trimanto, untuk saat ini harga per kilogram lonceng turun. Beberapa waktu lalu harga per kilogram mencapai Rp 300 ribu. Akantetapi lantaran berbagai faktor, harga turun menjadi Rp 275 ribu per kilogram. Jadi bisa dihitung berapa dana yang dibutuhkan untuk memesan lonceng dengan berat 125 kg yang akan dipasang di Gereja Katolik Santo Yohanes Rasul Somohitan, Turi, Sleman. “Karena harga loncengnya sudah mahal, maka saya ikut berpartisipasi yakni menyumbangkan konstruksinya secara gratis,” tegas Trimanto yang menjadi langganan Rm. Prier, SJ bila membutuhkan alat musik gamelan.
Ketika ditanya sudah berapa puluh lonceng yang diproduksi untuk memenuhi kebutuhan gereja, dengan lugu dan jujur ia mengatakan tidak tahu persis berapa jumlahnya. Akan tetapi diperkirakan sekitar 40 hingga 50 buah lonceng gereja yang telah diproduksi untuk memenuhi pesanan. Meski demikian Trimanto tidak pernah membuat lonceng bila tidak ada pesanan. Hal itu dikarenakan selain bahan bakunya mahal, ketika sadah jadi belum tentu ada yang mau membelinya sementara ia sudah mengeluarkan dana cukup banyak untuk membuatnya.
MENERUSKAN USAHA KELUARGA
Lelaki kelahiran Solo, 12Mei 1930 yang mendapat anugerah dari Sri Sultan HB X sebagai Seniman dan Budayawan ini mengisahkan, sejak semula ia meneruskan usaha ayahnya yang merupakan usaha dari sang kakek. Jadi usaha yang digeluti sebenarnya usaha turun temurun karena memang usaha jenis tersebut jarang diminati orang karena sirkulasi keuangannya tidak bisa tetap seperti sebuah perusahaan.
Ketika ayahnya menginjak masa senja, Trimanto mulai meneruskan usaha sekitar tahun 1960. Kendati demikian sejak kecil ketika duduk di bangku Sekolah Rakyat (SR) ia sudah senang membantu orang tua. “Jadi saya disuruh mengambil alat ini itu, memegang alat ini itu pokoknya membantu bapak saya,” kenangnya yang menyimpan puluhan penghargaan berkait dengan seni dan budaya yang selama ini digeluti.
Tahun 1946 Trimanto lulus SR, kemudian masuk sekolah guru Tetapi pada waktu itu Belanda masuk Solo, murid-murid sekplah menengah dari SMP hingga SMA menjadi Tentara Pelajar (TP). Trimanto juga ikut serta. Pada tahun 1949 ketika Belanda pergi, ada demobilisasi yakni siapa yang hendak meneruskan sekolah dan siapa yang hendak meneruskan ke tentara. Trimanto memilih sekolah karena komandannya menyarankan agar ia masuk sekolah guru saja mengingat Indonesia waktu itu sangat kurang tenaga guru. Oleh karena itu semua yang dari SMP, SMA agar mene-ruskan pendidikan ke sekolah guru.
Maka pada tahun itu Trimanto masuk ke sekolah guru (Setara dengan lulusan SMP) dan lulus tahun 1952. Adapun SGA setara dengan SMA. Akan tetapi karena situasi ekonomi dr tahun 1960, usai mengajar ia nyambi kepandaian yang diberikan orang tua kepadanya yaitu membuat kerajinan gamelan. Waktu itu ia membuat dari besi dan kuningan. Lama-lama ada kemajuan, lalu ia tingkatkan dengan menggunakan bahan dari perunggu.
“Karena bahan-bahan tersebut mahal, maka saya membuat dari bahan-bahan yang murah. Tetapi yang paling baik adalah perunggu itu,” jelas Trimanto yang mendapat penghargaan dari Muri lantaran menjelang tahun 2002 ia membuat Bende Millennium (gong) terbesar di dunia dengan diameter 6,4 meter serta dan berat 2,5 ton yang kini dipasang di Taman Impian Jaya Ancol, Jakarta.
Sementara disisi lain ia merasa bangga dengan generasi inuda yang masih peduli dengan gamelan. Hal itu manakala gamelan diimprovisasi dengan gitar, keyboard dan macam-macam alat musik. Tapi sayangnya gamelan mahal. “Andaikan gamelan murah, pasti sudah melanda dunia,” katanya yang pernah membuat bedug raksasa berdiameter 2,3 meter dan kini berada di masjid agung Tasikmalaya, Jawa Barat.
Trimanto yang juga pensiunan dosen ISI Yogyakarta berharap perhatian pemerintah dalam bidang seni dan budaya khususnya terhadap gamelan karena paling tidak ikut dalam pelestarian nilai-niai budaya bangsa selain bisa memberikan lapangan pekerjaan bagi pengrajin gamelan. “Sebenarnya pemerintah itu bisa, misal memberi proyek setahun sekali saja sudah bagus. Kan, kantor-kantor pemerintah punya dana? Orang Belanda saja bisa mengatakan gamelan merupakan de hault culture yang artinya kebudayaan yang adhi luhung. Tapi kenyataannya pemerintah tidak memperhatikan padahal itu kewajiban untuk handarbeni, memetri, dan hangrungkepi, iya ta?” tegasnya yang dahulu bengkel kerjanya menjadi salah satu tujuan wisata di Yogyakarta bagi turis manca negara yang ingin mengetahui proses pembuatan gamelan. (Arsyatha)
(Sumber: Praba, Tahun ke 60 No. 06-Maret-II-2009)