Posted by: santalidwina | June 30, 2009

Gereja Hati Kudus Yesus di Ganjuran

Bertemu Yesus dalam Wajah Jawa

Gereja Hati Kudus Yesus Ganjuran, demikian nama lengkapnya, bisa dijangkau dengan mengendarai kendaraan bermotor sejauh kurang lebih 20 km dari pusat kota Yogyakarta. Pemandang sawah yang hijau dan pohon serupa cemara akan menyambut anda begitu memasuki Desa Ganjuran, tempat gereja ini berdiri. Mengunjungi gereja ini, anda akan mengetahui tentang sejarah gereja dan inkulturasi Katolik dengan budaya Jawa, terakhir mendapatkan ketenangan hati.

Kompleks gereja Ganjuran mulai dibangun pada tahun 1924 atas prakarsa dua bersaudara keturunan Belanda, Joseph Smutzer dan Julius Smutzer. Gereja ini merupakan salah satu bangunan yang didirikan sejak dua bersaudara itu mulai mengelola Pabrik Gula Gondang Lipuro di daerah tersebut pada tahun 1912. Bangunan lain yang didirikan adalah 12 sekolah dan sebuah klinik yang menjadi cikal bakal Rumah Sakit Panti Rapih.

Pembangunan gereja yang dirancang oleh arsitek Belanda J Yh van Oyen ini adalah salah satu bentuk semangat sosial gereja (Rerum Navarum) yang dimiliki Smutzer bersaudara, yaitu semangat mencintai sesama, khususnya kesejahteraan masyarakat setempat yang kebanyakan menjadi karyawan di Pabrik Gula Gondang Lipuro yang mencapai masa keemasan pada tahun 1918 – 1930.

Dalam perkembangannya, kompleks gereja ini disempurnakan dengan pembangunan candi yang dinamai Candi Hati Kudus Yesus pada tahun 1927. Candi dengan teras berhias relief bunga teratai dan patung Kristus dengan pakaian Jawa itu kemudian menjadi pilihan lain tempat melaksanakan misa dan ziarah, selain di dalam gereja, yang menawarkan kedekatan dengan budaya Jawa.

Berjalan keliling gereja, anda akan menyadari bahwa bangunan ini dirancang dengan perpaduan gaya Eropa, Hindu dan Jawa. Gaya Eropa dapat ditemui pada bentuk bangunan berupa salib bila dilihat dari udara, sementara gaya Jawa bisa dilihat pada atap yang berbentuk tajug, bisa digunakan sebagai atap tempat ibadah. Atap itu disokong oleh empat tiang kayu jati, melambangkan empat penulis Injil, yaitu Matius, Markus, Lukas dan Yohanes.

Nuansa Jawa juga terlihat pada altar, sancristi (tempat menyimpan peralatan misa), doopvont (wadah air untuk baptis) dan chatevummenen (tempat katekis). Patung Yesus dan Bunda Maria yang tengah menggendong putranya juga digambarkan tengah memakai pakaian Jawa. Demikian pula relief-relief pada tiap pemberhentian jalan salib, Yesus digambarkan memiliki rambut mirip seorang pendeta Hindu.

Anda yang ingin berziarah bisa menuju tempat pengambilan air suci yang berada di sebelah kiri candi. Setelah mengambil air suci, anda bisa duduk bersimpuh di depan candi dan memanjatkan doa permohonan. Prosesi ibadah diakhiri dengan masuk ke dalam candi dan memanjatkan doa di depan patung Kristus. Beberapa peziarah sering mengambil air suci dan memasukkannya dalam botol, kemudian membawa pulang air itu setelah didoakan.

Bila ingin mengikuti misa dalam bahasa Jawa dan nyanyian lagu yang diiringi gamelan, anda bisa datang ke gereja ini setiap hari kamis hingga Minggu pukul 5.30, setiap malam Jumat pertama, setiap malam Natal dan setiap Sabtu Sore pukul 17.00. Misa dalam bahasa Jawa itu digelar di pelataran candi, kecuali misa harian setiap pukul 5.30 yang diadakan di dalam gereja.

Usai melaksanakan ibadah atau ziarah, sempatkanlah untuk berbincang dengan warga setempat untuk mengetahui sejarah tentang Ganjuran sendiri, tempat gereja ini berdiri. Dalam Babad tanah Jawa, Ganjuran adalah sebuah wilayah Alas Mentaok yang dinamakan Lipuro. Tempat itu dahulu sempat digunakan Panembahan Senopati untuk bertapa dan direncanakan menjadi pusat kerajaan Mataram, namun batal.

Perubahan nama menjadi Ganjuran sendiri berkaitan dengan kisah percintaan Ki Ageng Mangir dan Rara Pembayun yang diasingkan oleh Mataram. Kisah cinta dua orang tersebut yang kemudian mengilhami penciptaan tembang Kala Ganjur, berarti tali pengikat dasar manusia dalam mengarungi kehidupan bersama dengan dasar cinta. Nah, dari nama tembang tersebutlah desa yang dulu bernama Lipuro itu berubah menjadi Ganjuran.

Jika anda mau berbincang dengan penduduk setempat, akan banyak lagi cerita yang bisa digali, misalnya alasan dibatalkannya Lipuro menjadi pusat kerajaan Mataram, alasan pengasingan Ki Ageng Mangir dan Roro Pembayun dan sebagainya.

Sumber: http://www.yogyes.com/id/yogyakarta-tourism-object/places-of-interest/ganjuran/

Posted by: santalidwina | June 27, 2009

Mengenal Sejarah Gereja Santo Yakobus di Bantul

Barangkali kita semua bertanya, mengapa peringatan 70 tahun Gereja St. Yakobus Bantul kali ini tampak begitu meriah. Bukan hal yang mengherankan kalau pertanyaan itu muncul di hati begitu banyak umat. Sebab peringatan kaii ini memang agak luar biasa. Selain memperingati 70 tahun usia Gereja St.Yakobus, kita sekaligus juga memperingati 85 tahun usia umat, 50 tahun usia gedung gereja yang kesemuanya itu dirangkum di hari peringatan SantoYakobus pending Gereja kita sejak tahun 1954.

85 Tahun Usia Umat

Pada tanggal 11 Juni 1919 telah dibaptis seorang bayi dengan “baptis pertolongan” oleh seorang perempuan bernama Theresia Soertini. Bayi laki- laki itu bernama Antonius Kasmin. Bayi itu hanya berumur satu hari, sebab setelah dibaptis ia meninggal. Siapa orang tua bayi itu tidak ditulis dalam Buku Baptis. Bayi inilah yang tercatat dalam Buku Baptis I halaman 01 Nomor 1. Pada waktu itu wilayah Bantul dilayani dari KotabaruYogyakarta. Selama tahun 1919 hanya ada baptisan seorang bayi ini. Baru pada tahun 1920 ada permandian anak-anak dari Pajangan Bantul oleh Rama H. van Driessche, SJ yakni empat anak dari dua keluarga. Empat anak ini kakak beradik. Mereka dipermandikan tanggal 22 juni 1920. Tertulis dalam Buku Baptis I halaman 01-02 No. 2 – 5. Nama keempat anak tersebut adalah:

1.    R. Godfried Soengkono, umur 6 tahun

2.    R. Stephanus Siti Soekaheni, umur 8 tahun

3.    Rr. Maria Soemi, umur 6 tahun

4.    Rr. Mariana Soekesi, umur 3 tahun

Catatan: 1 dan 2 kakak beradik, 3 dan 4 kakak beradik

70 Tahun Usia Gereja St. Yakobus Bantul

Pada halaman depan Buku Baptis I Paroki Bantul tertulis dalam bahasa Latin bahwa Buku Baptis ada di Bantul mulai tanggal 1Januari 1934. Sampai dengan tanggal 1 Januari 1930 Buku Baptis ada di Yogyakarta. Dari tangal 1 Januari 1930 sampai dengan 1 Januari 1934 Buku Baptis ada di Ganjuran. Mulai tanggal 1 Januari 1934 dicatat di Bantul.

Dari tahun 1919 sampai dengan tahun 1933 telah tercatat 339 orang menerima permandian di Bantul. Setelah Buku Baptis ada di Bantul pada tanggal 17 Januari 1 934 ada permandian orang pertama atas nama Rr. Theresia Disoenarsih.

Inilah awal Paroki Bantul atau lahirnya Paroki Bantul. Demikian pula yang tertulis dalam Buku Petunjuk Gereja Katolik Indonesia, yakni Buku Paroki ada sejak 17 Januari 1934. Selanjutnya, HUT Paroki yang dirayakan setiap tahun dihitung mulai tahun 1934 ini. Puncak HUT tidak dijatuhkan pada tanggal 17 Januari, tetapi dijatuhkan pada 25 Juli, yakni pada Hari Pesta Santo Yakobus.

50 Tahun Usia Gedung Gereja

Tidak ada data yang tercatat mengenai bangunan gereja Bantul yang sekarang ini. Gereja lama bekas rumah dinas seorang administratur pabrik gula malah dicatat secara jelas tanggal dan pemberkatannya, yaitu Minggu tanggal 5 April 1936. Namun, gedung gereja itu sudah hancur pada zaman Jepang. Yang dapat dijadikan petunjuk ialah bahwa gedung gereja Bantul yang sekarang ini dibangun oleh Romo Y. Van Leengoed, SJ dan dilanjutkan oleh Romo C Rommens, SJ ketika beliau melayani Bantul dari Kotabaru Yogyakarta.

Romo Y Van Leengoed, SJ tercatat diam Buku Baptis melayani Bantul sejak awal Januari 1951 sampai dengan pertengahan 1954. Dan Romo C Rommens, SJ melayani Bantul sejak pertengahan 1954 sampai dengan Paskah 1958.

Menurut para sesepuh Paroki Bantul antara lain Bp. Yogautama dari lingkungan Mathias Geblag dan Bp. F. Widyahadimartaya dari Lingkungan Lukas Cepit, menyebutkan bahwa gedung gereja dibangun oleh Romo Y van Leengoed, SJ namun belum selesai dan dilanjutkan oleh Romo C. Pommens, SJ sebagaimana bentuk gedung gereja tersebut ada sampai sekarang ini. Maka pada pertengahan tahun 1954, saat pergantian tugas dari para Romo ini kita sebut sebagai saat berdirinya gedung gereja Bantul.

St. Yakobus: Pelindung umat, paroki, dan gereja seiak tahun 1954.

Menurut cerita dari Rama Anton Mulder, SJ yang cukup lama telah berkarya di Bantul, yakni pertengahan 1958 sampai dengan akhir 1967, nama Santo Yakobus itu munculnya demikian:

Pada pertengahan 1954 bulan-bulan terakhir pelayanan Rama Y. van Leengoed, SJ di Bantul, Bapak Uskup Agung Semarang Mgr. Alb. Soegijapranata, SJ datang di Kotabaru Yogyakarta. Pada waktu itu Rama Y. van Leengoed memohon kepada Bapak Uskup untuk berkenan “rawuh” di Bantul untuk memberkati gereja. Bapak Uskup berkenan memenuhi permohonan Romo Y. van Leengoed.

Pada saat Mgr. Alb. Soegiyapranata memberkati gedung gereja baru ini, dalam Misa Kudus di altar bertanya kepada Romo Y. van Leengoed: “Siapa pelindung gereja ini?” Romo Y. van Leengoed bingung, belum terpikirkan. Lalu Bapak Uskup bertanya lagi: “Pelindungmu sendiri siapa?” Romo Y van Leengoed menjawab: “Yakobus (Mayor/Tua)” Dari sinilah lalu Bapak Uskup memberi nama pelindung gereja ini “YAKOBUS”, yang tak lain adalah nama pelindung dari Romo Y. van Leengoed sendiri.

Namun yang menjadi pertanyaan bagi saya adalah: “Mengapa nama Santo Yakobus baru dipakai pertama kaii dalam surat/Buku Baptis Bantul pada tanggal 24 Mei 1958 oleh Romo Anton Mulder.” Sebelum itu tetap hanya ditulis di Gereja Bantul, tidak di Gereja Santo Yakobus Bantul.

*  Disarikan dari tulisan Romo VM. Kartasudarma, Pr pada peringatan 70 Tahun Gereja Katolik St. Yakobus Bantul

Sumber: http://www.styakobus.org

Posted by: santalidwina | March 26, 2009

Trimanto Pembuat Lonceng Gereja

tri_resizeSangat jarang bahkan bisa dihitung dengan jari siapa yang berada dibalik proses pembuatan lonceng gereja. Dentang yang menggema ditelinga seakan mampu menyiratkan keberadaan sebuah gereja dalam membangkitkan nuansa spiritual. Tapi siapa sebenarnya yang mampu menghiasi gereja dengan suara dentangnya yang indah? Dan siapa sangka benda yang bernama lonceng dan menghiasi sekian puluh gereja di Indonesia dan manca negara itu karya anak negeri ini?

TRIMANTO alias Tri Wiguna yang bergelar empu, belum lama ini kepada PRABA bertuturpanjang lebar tentang karya-karya seninya termasuk lonceng gereja yang kini menghiasi di berbagai gereja di Indonesia maupun di beberapa negara di Eropa.

Dengan ingatan yang masih tajam, Trimanto yang saat ini berusia 79 tahun dan menjadi langganan beberapa pastor atau romo ini menjelaskan bahwa sejak semula ia tidak berniat membuat lonceng. “Saya sebenarnya tidak punya maksud membuat lonceng, akan tetapi ada yang memesannya. Jadi ceritanya ketika Radius Prawiro, seorang merited di jaman kepemimpinan Presiden Soeharto menginginkan sebuah lonceng, dan memesan kepada saya. Semula saya ragu-ragu, akan tetapi karena saya didesak untuk membuatkan, akhirnya saya coba dengan jalan menempa, bukan mencetak. Setelah jadi, ternyata bunyinya kemprong alias kurang memuaskan,” ujarnya mengawali perbincangan.

Selang beberapa waktu kemudian atau sekitar tahun 1978 ia berkenalan dengan Pastor Wagner. Biarawan asal Jerman itu datang ke bengkel kerja Trimanto. Meskipun Trimanto sudah menjelaskan bila ia tidak bisa membuat lonceng dengan sempurna, akan tetapi ia terus didesak untuk mencobanya.

“Sayapun mengiyakan, akan tetapi saya bermaksud membuatnya dari kuningan. Karena saya tidak yakin bila dari perunggu hasilnya akan baik. Selain harganya mahal, memakan waktu dan tenaga. Tetapi Pastor Wagner tidak mau kalau dari kuningan karena menurutnya tidak bagus. Sayapun bertanya, kalau tidak dari kuningan lalu dari apa? Pastor Wagner mengatakan kalau ia pulang ke Jerman akan membawakan literaturnya,” ujar Trimanto mengisahkan.

Betul juga, tiga bulan kemudian Pastor Wagner datang dan membawakan literatur yang dimaksud. Ternyata apa yang ada di literatur tersebut tak lain brons, yakni campuran antara CU (cuprum) dan SN (stanum) alias perunggu. “Jadi saya bisa membuat lonceng dengan sempurna setelah mendapat petunjuk dari Pastor Wagner tentang bagaiinana komposisi dan cara membuat yang baik dan benar meskipun dari perunggu,” jelas Trimanto yang pernah mendapat penghargaan dari Unesco tahun 2002

Dijelaskan pula, kendala dari kualitas lonceng yakni masalah bunyi. Bunyinya bagus asal brons tua yakni hampir mendekati perbandingan 3:10 dimana 3 untuk SN dan 10 untuk CU, akan tetapi beresiko mudah pecah. Untuk mengatasinya dibuat agak muda dengan perbandingan 2,5 : 10, dipukul keras pun tidak apa-apa. Hanya saja komposisi tersebut menghasilkan suara tidak sempurna alias kemprong atau tidak menggema.

“Jadi orang tinggal pilih, yang agak kurang menggema supaya awet atau pilih menggema tetapi mudah pecah. Saya sampaikan begini agar orang bisa tahu. Nah, untuk yang menggema tadi, orang yang membunyikannya harus dididik betul. Artinya, tidak asal membunyikan, tetapi harus dengan hati dan perasaan. Hatinya harus mengikuti suara karena nafsu orang lain-lain. Jadi kalau yang membunyikan itu dididik untuk menyatu dengan lonceng, meskipun loncengnya dengan campuran tua pasti tidak akan pecah. Saya pernah ngomong-ngomong dengan seorang pastor dari luar negeri, dan dia juga mengatakan demikian,” papar ayah 8 anak dari perkawinannya dengan Siti Komariah.

Ketika ditanya bagaimana mengatasi bila lonceng retak? Kakek 18 cucu ini dengan santainya berujar bila Gerejanya mampu mendanai bisa pesan yang lebih bagus. Dengan kata lain, lonceng yang retak atau pecah tersebut kelak bisa diolah kembali menjadi lonceng yang baru meski memakan waktu yang tidak sebentar. Dan satu hal yang perlu ditegaskan yakni timbangan lonceng yang diolah kembali akan susut sekitar 20%. “Jadi bila sebuah lonceng yang retak beratnya sekitar 50 kg kemudian dicor lagi, maka hanya akan menghasilkan lonceng dengan berat 40 kg. Maka sebaiknya ditukar tambah dengan yang sudah ada. Selain menghemat waktu, kualitas lonceng juga berbeda. Jelasnya lebih bagus dan berkualitas meski harus ditebus dengan harga yang telah disesuaikan.

Dikatakan Trimanto, untuk saat ini harga per kilogram lonceng turun. Beberapa waktu lalu harga per kilogram mencapai Rp 300 ribu. Akantetapi lantaran berbagai faktor, harga turun menjadi Rp 275 ribu per kilogram. Jadi bisa dihitung berapa dana yang dibutuhkan untuk memesan lonceng dengan berat 125 kg yang akan dipasang di Gereja Katolik Santo Yohanes Rasul Somohitan, Turi, Sleman. “Karena harga loncengnya sudah mahal, maka saya ikut berpartisipasi yakni menyumbangkan konstruksinya secara gratis,” tegas Trimanto yang menjadi langganan Rm. Prier, SJ bila membutuhkan alat musik gamelan.

Ketika ditanya sudah berapa puluh lonceng yang diproduksi untuk memenuhi kebutuhan gereja, dengan lugu dan jujur ia mengatakan tidak tahu persis berapa jumlahnya. Akan tetapi diperkirakan sekitar 40 hingga 50 buah lonceng gereja yang telah diproduksi untuk memenuhi pesanan. Meski demikian Trimanto tidak pernah membuat lonceng bila tidak ada pesanan. Hal itu dikarenakan selain bahan bakunya mahal, ketika sadah jadi belum tentu ada yang mau membelinya sementara ia sudah mengeluarkan dana cukup banyak untuk membuatnya.

MENERUSKAN USAHA KELUARGA

Lelaki kelahiran Solo, 12Mei 1930 yang mendapat anugerah dari Sri Sultan HB X sebagai Seniman dan Budayawan ini mengisahkan, sejak semula ia meneruskan usaha ayahnya yang merupakan usaha dari sang kakek. Jadi usaha yang digeluti sebenarnya usaha turun temurun karena memang usaha jenis tersebut jarang diminati orang karena sirkulasi keuangannya tidak bisa tetap seperti sebuah perusahaan.

Ketika ayahnya menginjak masa senja, Trimanto mulai meneruskan usaha sekitar tahun 1960. Kendati demikian sejak kecil ketika duduk di bangku Sekolah Rakyat (SR) ia sudah senang membantu orang tua. “Jadi saya disuruh mengambil alat ini itu, memegang alat ini itu pokoknya membantu bapak saya,” kenangnya yang menyimpan puluhan penghargaan berkait dengan seni dan budaya yang selama ini digeluti.

Tahun 1946 Trimanto lulus SR, kemudian masuk sekolah guru Tetapi pada waktu itu Belanda masuk Solo, murid-murid sekplah menengah dari SMP hingga SMA menjadi Tentara Pelajar (TP). Trimanto juga ikut serta. Pada tahun 1949 ketika Belanda pergi, ada demobilisasi yakni siapa yang hendak meneruskan sekolah dan siapa yang hendak meneruskan ke tentara. Trimanto memilih sekolah karena komandannya menyarankan agar ia masuk sekolah guru saja mengingat Indonesia waktu itu sangat kurang tenaga guru. Oleh karena itu semua yang dari SMP, SMA agar mene-ruskan pendidikan ke sekolah guru.

Maka pada tahun itu Trimanto masuk ke sekolah guru (Setara dengan lulusan SMP) dan lulus tahun 1952. Adapun SGA setara dengan SMA. Akan tetapi karena situasi ekonomi dr tahun 1960, usai mengajar ia nyambi kepandaian yang diberikan orang tua kepadanya yaitu membuat kerajinan gamelan. Waktu itu ia membuat dari besi dan kuningan. Lama-lama ada kemajuan, lalu ia tingkatkan dengan menggunakan bahan dari perunggu.

“Karena bahan-bahan tersebut mahal, maka saya membuat dari bahan-bahan yang murah. Tetapi yang paling baik adalah perunggu itu,” jelas Trimanto yang mendapat penghargaan dari Muri lantaran menjelang tahun 2002 ia membuat Bende Millennium (gong) terbesar di dunia dengan diameter 6,4 meter serta dan berat 2,5 ton yang kini dipasang di Taman Impian Jaya Ancol, Jakarta.

Sementara disisi lain ia merasa bangga dengan generasi inuda yang masih peduli dengan gamelan. Hal itu manakala gamelan diimprovisasi dengan gitar, keyboard dan macam-macam alat musik. Tapi sayangnya gamelan mahal. “Andaikan gamelan murah, pasti sudah melanda dunia,” katanya yang pernah membuat bedug raksasa berdiameter 2,3 meter dan kini berada di masjid agung Tasikmalaya, Jawa Barat.

Trimanto yang juga pensiunan dosen ISI Yogyakarta berharap perhatian pemerintah dalam bidang seni dan budaya khususnya terhadap gamelan karena paling tidak ikut dalam pelestarian nilai-niai budaya bangsa selain bisa memberikan lapangan pekerjaan bagi pengrajin gamelan. “Sebenarnya pemerintah itu bisa, misal memberi proyek setahun sekali saja sudah bagus. Kan, kantor-kantor pemerintah punya dana? Orang Belanda saja bisa mengatakan gamelan merupakan de hault culture yang artinya kebudayaan yang adhi luhung. Tapi kenyataannya pemerintah tidak memperhatikan padahal itu kewajiban untuk handarbeni, memetri, dan hangrungkepi, iya ta?” tegasnya yang dahulu bengkel kerjanya menjadi salah satu tujuan wisata di Yogyakarta bagi turis manca negara yang ingin mengetahui proses pembuatan gamelan. (Arsyatha)

(Sumber: Praba, Tahun ke 60 No. 06-Maret-II-2009)

Posted by: santalidwina | March 26, 2009

Gereja Mlesen Paroki Medari

mlesen0Gereja Mlesen, yang berlokasi di dusun Mlesen, Pondokrejo, Medari, Sleman yang secara hirarkis dibawah Paroki Medari, Sleman meski belum seratus persen berdiri dan layak untuk dipergunakan sebagai tempat ibadah, namun menorehkan “luka” yang tak terlupakan bagi warga setempat khususnya umat Katolik yang dengan kesabaran, ketabahan, keuletan, bahu membahu mendirikan Kerajaan Allah di atas bumi Mlesen.

Bukan semata-mata disebabkan ketiadaan dana yang membuat proses pembangunan berjalan tersendat-sendat, akan tetapi munculnya sekelompok orang yang mengatasnamakan sebuah organisasi massa yang mencoba merintangi umat Katolik di kawasan Mlesen dalam upaya mendirikan tempat ibadah. Tindakan yang melawan hukum dengan menyuruh paksa menurunkan genteng bahkan menyegel bangunan tersebut menunjukkan sikap arogan seakan berkuasa atas pendirian tempat ibadah. Meski demikian, umat Katolik yang tersebar cukup banyak di dusun Mlesen dan sekitarnya sama sekali tak menunjukkan perlawanan. Dengan sikap introspeksi, akhirnya panitia pemba­ngunan gereja berusaha menyelesaikan persoalan administrasi yang menjadi inti permasalahan.

Menurut aturan pendirian tempat ibadah, sebuah bangunan bisa didirikan bila memiliki umat minimal 90 orang. Kalau dalam 1 lingkungan atau kelurahan belum mencukupi bisa bergabung dengan lingkungan atau kelurahan lain. Kalau itu juga belum mencukupi masih bisa ditambah dengan lingkungan atau kelurahan lain yang masih di dalam satu kecamatan. Begitu seterusnya hingga kuota terpenuhi. “Padahal untuk wilayah Mlesen sendiri kami sudah mampu karena satu lingkungan saja terdiri dari sekitar 30 KK yang diasumsikan ada sekitar 90 orang,” jelas Aris, salah satu tokoh umat Katolik yang juga prodiakon ketika berbincang dengan PRABA di rumahnya.

Sementara kehidupan warga Mlesen sehari-hari menurut Aris terbina cukup baik terlebih dalam kerukunan umat beragama. Satu dengan lainnya saling menghormati bahkan saling berbagi rasa. Dicontohkan bila ada umat Katolik yang meninggal, umat muslim ikut terlibat mempersiapkan apa yang dibutuhkan untuk pelaksanaan. Natal atau Paskah pun demikian, kami mengundang mereka dan mereka pun hadir. Sebaliknya bila mereka mengadakan peringatan hari raya seperti lebaran, Maulud, atau perayaan keagamaan lainnya sudah tidak memandang agama, tetapi terbagi dalam blok blok utara dan selatan. Kalau blok utara menyelenggarakan hajat, kami ikut menyumbang sebaliknya demikian. Adapun ketika nyadran, yang mempunyai ahli waris tetap menyumbang tidak pandang mereka pemeluk agama apa. Hal itu bertujuan untuk pembangunan dan perawatan. “Jadi sebetulnya kami tidak ada masalah bahkan bisa dikatakan sangat rukun,” ujar Aris yang mantan Ketua Lingkungan.

Menyoal riwayat pembangunan gereja yang pernah menjadi persoalan hangat di Mlesen dimana melibatkan pihak pemerintah kabupaten hingga ditingkat desa serta instansi terkait ini, Aris mengisahkan waktu itu pihaknya belum mempunyai tempat ibadah yang layak, hanya sebuah bangunan rumah terbuat dari gedheg. Itu pun pemberian dari seorang warga ketika masih hidup. la menghibahkan rumahnya yang berbentuk pendopo untuk tempat ibadah yang kemudian oleh umat setempat dijadikan kapel. Sementara di sisi lain diakui bahwa pihaknya secara administrasi belum mempunyai surat keterangan atau ijin mengingat lokasinya di pinggir sungai.

Seiring berjalannya waktu, pemilik yang telah menghibahkan rumah dan bangunan tersebut meninggal dunia. Para pengurus kemudian berinisiatif mengurus kepemilikan agar lebih jelas statusnya. Akan tetapi pihak keluarga hanya memberikan bangunannya saja, sedang tanahnya diminta kembali. Meski demikian, para pengurus memindahkan bangunan pendopo ke lokasi yang sekarang yakni di belakang bangunan gereja.

Lantaran kapel terlalu sempit sementara ada seorang umat bernama Antonius Sumar yang sukses berkarya di Jakarta, dia bermaksud menghibahkan tanah miliknya seluas 700 meter persegi yang terletak di sisi utara rumahnya yang dimaksudkan sebagai perluasan kapel. Bahkan ketika dirasa kesempatan secara finansial itu ada, ia bermaksud mendirikan,bangunan gereja yang lebih layak di atas tanah tersebut.

Maka, sambil menunggu pembangunan gereja, misa masih menggunakan bangunan kapel yang lama. Itu pun untuk Jumat pertama atau minggu biasa bagi umat di lingkungan. Sedang untuk bangunan baru dipergunakan pada waktu tertentu. “Yah maklum saja namanya manusia masih punya rasa takut. Tetapi saya justru mantap dan yakin karena kami tidak punya rencana berbuat jelek. Jadi untuk Selasa dan Jumat Kliwon untuk tirakatan. Pokoknya mohon keselamatan. Bahkan dulu ketika masih gencar-gencarnya demo kami mengadakan novena dan memohon kepada Tuhan melalui Roh Kudus agar orang yang belum mengenal Yesus disadarkan,” papar Aris.

Tentang mengapa bisa terjadi demo yang dilakukan oleh sekelompok orang yang mengatasnamakan sebuah organisasi massa, Aris mengatakan hal itu semata-mata didasarkan pada kecemburuan sosial selain lokasinya yang strategis, bangunannya bagus, dan yang lebih penting mereka belum memahami Katolik itu seperti apa.

Kini, segala kegetiran itu telah berlalu berganti dengan secercah harapan dengan terwujudnya gereja yang dapat menampung seluruh umat Wilayah IV yang terdiri dari 4 lingkungan yakni Mlesen, Temanggung, Batang dan Keceme dimana masing-masing lingku­ngan terdapat sekitar 30 KK saat sekarang ini boleh dikata berlega hati mengingat kondisi bangunan gereja yang mendekati penyelesaian. Hal itu selain berkat dukungan dana Anton Sumar, salah seorang tokoh masyarakat yang memiliki inisiatif mendirikan gereja tersebut, juga dukungan moral umat Katolik yang tak henti-hentinya berjuang agar pembangunan gereja segera selesai.

Sementara Uskup Agung Semarang Mgr. Ign. Suharyo, Pr ketika berkesempatan mengunjungi umat beberapa waktu lalu mengatakan rasa syukur atas berdirinya tempat ibadah yang telah melalui proses panjang dan berliku akan tetapi tetap tegar berdiri dan mampu menghadapi tantangan jaman diantara kondisi serta situasi yang tidak menentu. Bahkan dalam kesempatan tersebut Bapa Uskup membuka pintu lebar-lebar apabila umat membutuhkan uluran tangan apapun bentuknya.

Meski demikian, Aris juga mengakui bila umat juga ikut berpartisipasi meskipun tak banyak.”Jadi dulu sebelum genting naik, kami membutuhkan reng sementara saya mempunyai warga yang kebetulan berdomisili di Surabaya. Saya meminta bantuan kepada dia yang ternyata disetujui dengan memberi bantuan Rp 1,5. Uang itu lalu kami pergunakan membeli reng. Sedang partisipasi umat sebatas kemampuan mereka seperti memberi makan kepada pekerja atau dalam bentuk lain,” jelasnya. Saat ini pembangunan gedung yang telah menelan dana tak kurang Rp 700 juta tersebut sedang dalam tahap finishing. Adapun Anton Sumar sebagai penyandang tunggal, yakin dan tetap optimis serta konsisten mampu menyelesaikannya entah kapan karena semua itu membutuhkan dana yang tidak sedikit. Terlebih sampai sekarang ia sudah mengeluarkan dana ratusan juta rupiah. “Istilahnya ada uang sedikit dipergunakan untuk meneruskan pembangunan, kalau tidak ada berhenti dulu. Jadi tidak ada target, tapi saya optimis karena saya sudah bertekad hendakmenyelesaikannya meskipun tidak bisa dipastikan waktunya,” ujar Anton Sumar.

Pihaknya juga berharap dengan berdirinya gereja tersebut, kelak umat di Wilayah IV Santo Markus dan sekitarnya mampu menyumbangkan waktu dan tenaganya demi perkembangan Gereja ke depan serta mampu pula menghadapi tantangan jaman yang semakin sulit. (Ton)

(Sumber: Praba, Tahun ke 60 No. 06-Maret-II-2009)

Posted by: santalidwina | March 25, 2009

Blog Arsitektur Gereja Katolik

Dear All,

Blog ini dilahirkan untuk menampung dokumentasi Arsitektur Gereja Katolik di DIY. Sidang pembaca diundang untuk berpartisipasi mengisi informasi yang bermanfaat bagi pemahaman arsitektur gereja di DIY.

Salam,

Djarot Purbadi

Categories